Selasa, 26 Januari 2010

SEJARAH KOTA PANGKALPINANG

Sejarah



Kota pangkal pinang berkembang dari status sebagai kota kecil di tahun 1956, kotapraja, kotamadya, hingga menjadi kotamadya daerah tingkat II Pangkal pinang.[1]
2. 1. Kota Kecil
Lahirnya Pangkalpinang dengan status Kota Kecil ialah pada tahun 1956 berdasarkan UU Darurat No 6 Tahun 1956 yang meliputi dua gemeente yaitu gemeente Pangkalpinang dan Gemeentee Gabek dengan luas 31,7 Km2 dan ditetapkan pula Pangkalpinang sebagai Ibukotanya. Sebagai pejabat Walikota yang pertama adalah R. Supardi Suwardjo (alm)., patih d/p Kantor Residen Bangka Balitung. Pada tanggal 20 November 1956 kedudukanya diganti oleh Achmad Basirun (alm) sebagai penjabat walikota dan kemudian diganti oleh Rd. Abdulah (alm) pad tanggal 15 Desember 1956.
2. 2. Kotapraja
Berdasarkan UU no.5 Tahun 1959 staus kota kecil ditingkatkan menjadi kotapraja tanggal 24 juli 1958. Rd Abdulah diganti oleh R. Hundani (alm) yang terpilih sebagai walikota hasil pemilu yang pertama tahun 1955 (walikota ke 44). Kemudian dengan surat keputusan Presiden RI tanggal 1 Oktober 1960 no.558/M ditunjuk M. Saleh Zainuddin sebagai walikota Kepala Daerah Kotapraja Pangkalpinang.
2. 3. Kotamadya
Berdasarkan UU No.18 Tahun 1965 status Kotapraja dirubah menjadi Kotamdya. dengan keputusan Presiden RI tanggal 21 Februari 1967 no UP/10/I/M-220, M Saleh Zainudin diganti oleh Drs Rustam Effendi (alm) sebagai walikota dengan 5 (lima) orang anggota Badan Pemerintahan Harian sebagai pembantu dalam menjalankan pemerintahan.
2. 4. Kotamadya Daerah Tingkat II Pangkalpinang
Dengan berlakunya UU No 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah, status Kotamadya menjadi Kotamadya daerah Tingkat II Pangkalpinang yang dilengkapi dengan 20 orang anggota DPRD, sebagai walikotanya Kepala Daerah adalah sebagai berikut:
1. Roesli Romli (1973-1978)
2. H.M.Arub, SH (1978-1983)
3. H.M.Arub,SH (1983-1988)
4. Drs.H.Rosman Djohan (1989-1993)
5. Drs.H.Sofyan Rebuin (1993-1998)
Pada masa jabatan Bapak H.M. Arub, SH yakni dengan PP No 12 Tahun 1984 wilayah Kotamadya Pangkalpinang dimekarkan dari 31,7 KM2 menjadi 89,4 KM2 dan dengan pemekaran itu meliputi tiga desa dari Kabupaten Bangka yakni Desa Air Itam, Tua Tanu dan Bacang sehingga dari 4 Kecamatan terdapat 55 Kelurahan dan 3 Desa.

Kota Pangkalpinang
Pada tanggal 7 Mei 1999 dikeluarkan UU Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang menerapkan sistem Otonomi Formil dan Otonomi Luas pada Kabupaten / Kota. Daerah Otonom Pangkalpinang menjadi Dareah Otonom Kota Pangkalpinang dengan Badan Legislatif sejumlah 25 orang yang terpisah dari Pemerintahan Daerah. Pemerintahan Daerah dipimpin oleh Walikota dan Wakil Walikota sebagai jabatahn Politis. Sedangkan Sekretaris Daerah adalah pimpinan Aministratif/Birokrasi. Dengan Undang-Undang ini berbagai instansi vertika/departemen/LPND sejak 1 Januari 2001 menjadi perangkat daerah otonom, sedangkan 3 desa yang dikemukakan diatas yakni Air Itam, Tua Tunu, dan Bacang menjadi Kelurahan. Yang menjabat sebagai walikota pada masa Pemerintahan ini adalah : a. Drs. H. Sofyan Rebuin, MM b. Drs. H. Zulkarnain Karim, MM
3. Pariwisata
Pangkalpinang memiliki 23 hotel terdiri dari 5 hotel berbintang dan 18 hotel melati. Jumlah kamar sebanyak 445 buah dan jumlah tempat tidur sebanyak 757 buah. Sedangkan jumlah restoran sebanyak 5 buah. Beberapa obyek wisata yang ada di Pangkalpinang :
1. Taman Sari
2. Taman Merdeka
3. Museum Timah                                            
4. Mesjid Jami'
5. Gereja Maranatha
6. Gereja Katedral Pangkalpinang
7. Vihara Citra Maitreya
8. Klenteng Konghucu
9. Pantai Pasir Padi
10. Pantai sampur

SEJARAH PAHLAWAN BANGKA-BELITUNG

Amir adalah putera sulung Depati Bahrin (Wafat tahun 1848), sedangkan Hamzah adalah adik atau saudara kandung Amir. Sebagai putera sulung, Amir menjadi Depati diangkat oleh Belanda karena ketakutan Belanda akan pengaruhnya yang besar di hati rakyat Bangka. Jabatan Depati yang diberikan Belanda kepada Amir atas daerah Mendara dan Mentadai kemudian ditolaknya, akan tetapi gelar Depati tersebut kemudian tetap melekat pada diri Amir dan kemudian kepada Hamzah karena kecintaan rakyat kepada keduanya, disamping kehendak kuat rakyat Bangka yang membutuhkan pigur Pemimpin. Sejak perlawanan rakyat Bangka dipimpin oleh Depati Bahrin (Tahun 1820-1828), Amir dan Hamzah sebagai putera Bahrin, sudah menjadi panglima Perang dan menunjukkan sikap kepemimpinan yang baik, yaitu sifat yang tegas, berani, cerdas dan cakap.

Amir dan Hamzah membangun markas besarnya di daerah Tampui dan Belah serta di kaki Gunung Maras, namun secara pasti Pasukan terus berpindah dan bergerak diseluruh pelosok belantara Pulau Bangka. Dalam Pertempuran strategi yang digunakan adalah perang gerilya dengan ciri :
- Disamping pasukan utama dibentuk pasukan pasukan kecil dimasing masing distrik yang dipimpin oleh seorang Panglima Perang.
- Tugas pasukan kecil ini adalah menyerang pos pos militer Belanda dan parit-parit sebagai pusat kekayaan dan keuangan Belanda, serta membumihanguskan Batin Batin untuk menaikkan moral perjuangan dan menghancurkan sumber logistik musuh.
- Melemahkan mental dan moral musuh dengan menyerang kemudian menghilang dengan cepat, mengelabui dan menjebak musuh dengan memanfaatkan kondisi geografis alam Pulau Bangka.
- Menghindari pertempuran terbuka dan frontal.
- Memasang rintangan dan ranjau sepanjang jalan Pangkalpinang-Mentok.
- Mengadakan gerakan kontra mata mata.
- Mendatangkan senjata dan amunisi bekerjasama dengan orang orang Cina.
Untuk menghadapi perlawanan rakyat Bangka yang dipimpin oleh Depati Amir dan Hamzah, Belanda mengalami kebingungan dan kesulitan, sehingga bermacam strategi dilakukan antara lain:
- Parit parit dijaga oleh militer dan di kampung kampung didirikan pos militer.
- Mendatangkan orang Indonesia dari daerah lain untuk berperang melawan Amir dan Hamzah.
- Memberi hadiah bagi yang dapat memberikan informasi keberadaan Amir dan Hamzah atau yang berhasil menangkapnya.
- Melakukan gerakan gerakan militer, benteng stelsel, memperkuat balatentara dan mendatangkan kapal perang untuk mempercepat gerak pasukan guna mendesak dan menumpas perlawanan.
- Menawarkan perundingan dengan memberi Gaji dan Tunjangan Kepada Amir dan Hamzah, kepada para Batin dan Mandor kampung untuk mengikat supaya tidak melakukan perlawanan.
- Menjanjikan melepas keluarga Amir dan Hamzah yang ditahan.
- Melaksanakan perundingan di Kampung Layang dipimpin oleh Kapten Dekker.

Kekurangan akan logistik dan kondisi pasukannya yang keletihan karena harus bergerak terus menerus dalam rimba Pulau Bangka yang sangat luas yang menjadi pemikiran Amir dan Hamzah, sehingga ketika pasukannya kembai ke kampung - kampung untuk menggarap ladang pertanian justru menjadi hal yang dianjurkan, karena mengingat kepentingan yang lebih besar yaitu menghindari rakyat Bangka dari kelaparan. Di samping kekurangan pangan dan logistik perang ditambah iklim yang kurang mendukung, menyebabkan dalam peperangan digunakannya peralatan tradisional yang disebut Pidung dan Sumpitan sebagai senjata. Keletihan, kekurangan pangan, dan kondisi alam yang ganas, pertempuran demi pertempuran yang berlangsung hampir tiga tahun tanpa henti disertai penyergapan - penyergapan dan pengepungan menyebabkan pasukan semakin lemah, dalam dua kali penyergapan dipimpin oleh Lettu Dekker di Cepurak pada tanggal 27 Nopember 1850 dan pada bulan Desember 1850 Amir dan Hamzah beserta pengikutnya berhasil meloloskan diri. Dalam kondisi kurus, lemah dan sakit Amir dan Hamzah berhasil ditangkap pada tanggal 7 januari 1851 lalu dibawa ke markas militer Belanda di Bakam, kemudian di bawa ke Belinyu pada tanggal 16 Januari 1851, selanjutnya di bawa ke Mentok. Pada tanggal 28 Pebruari 1851 berangkatlah Amir dan Hamzah kepengasingan di Desa Airmata Kupang Pulau Timor.

Perjuangan tidak berhenti dan terus dilanjutkan di Pulau Timor Propinsi NTT dalam bentuk memberikan petuah dan mengatur siasat dan strategi perang bagi pejuang di Pulau Timor dalam melawan Belanda, melakukan dakwah menyebarkan agama Islam (komunitas muslim yang ada di Pulau Timor adalah keturunan Bahrin dan mereka mendirikan masjid di Bonipoi yang bernama masjid Al Ikhlas), serta memberikan pengetahuan tentang sistem pengobatan tradisional bagi masyarakat setempat. Sejarah perjalanan pembuangan yang dramatis ke Pulau Timor selama 6 (enam) bulan di atas Kapal Uap Unrust dengan terus menerus dirantai dan dikerangkeng serta penderitaan di pembuangan (Desa tempat pembuangannya dinamai dengan Desa Airmata) tidak kalah dengan kisah pembuangan Imam Bonjol, Diponegoro, dan Pahlawan Nasional lainnya.

Kalau dilihat dari fakta sejarah di atas sangat jelas bahwa Depati Amir dan Hamzah adalah SALAH SEORANG PEJUANG BANGSA DAN SEBAGAI SALAH SATU SIMPUL DARI SEKIAN BANYAK SIMPUL PEREKAT KEINDONESIAAN. Setelah 34 tahun kemudian Amir wafat pada tahun 1885 dan Hamzah wafat pada tahun 1900. Keduanya di makamkan di Pemakaman Batu Kadera Kupang. Pengasingan dan Pembuangan adalah cara yang dilakukan oleh Belanda untuk mengakhiri perlawanan dan menjauhkan pengaruh pemimpin terhadap rakyatnya, hak istimewa untuk mengasingkan dan membuang para pejuang disebut dengan EXORBITANTE RECHTEN. Cara Kolonial ini ternyata sangat efektif untuk menumpas perlawanan rakyat di berbagai kerajaan kerajaan tradisional di daerah. Setelah tertangkapnya Amir dan Hamzah perjuangan rakyat Bangka tidak berhenti dan dilanjutkan oleh pejuang pejuang lainnya seperti Batin Tikal, dan bekas panglima panglima perang lainnya.

LADA PUTIH MUNTOK



SUNGGUH ironis nasib lada putih Bangka (Muntok white pepper). Sejak komuditas


rempah-rempah ini dimonopoli oleh serikat dagang Belanda (VOC) tidak ada
perubahan sama sekali. Lada dijual dalam bentuk primer. Setelah dipanen,
direndam, jemur, bulir lada Bangka dengan aroma dan rasa pedas yang khas itu
dijual ke pedagang pengumpul.
Lalu ditampung untuk selanjutnya diekspor. Tanpa sentuhan teknologi untuk
diversivikasi produk.

Begitu pula dengan pengembangan kebun lada para petani. Berabad-abad dikelola
dengan pengetahuan yang mereka miliki. Petani seolah berhadapan sendirian saat
menghadapi seluruh permasalahan lada. Mulai penyakit, hama, kualitas produk dan
pemanfaatan lahan.

Wajarlah, ketika negara lain seperti Vietnam menerapkan teknologi perkebunan
lada, muntok white pepper yang tersohor sejak masa VOC itu kehilangan pamor.
Kualitas tertinggal dengan produksi minim. Indonesia sebagai pemasok utama
kebutuhan lada dunia, khususnya dari Babel sudah berpuluh-puluh tahun ini
tertinggal. Porsi pasokan lada Indoensia tersisa 30 persen saja.



Komoditi lada mempunyai peran strategis secara ekonomis, historis, sosilologis
dan geogarfis itu kini tinggal kenangan. Para petani tak berdaya ketika hasil
panen itu tak memiliki harga lagi. Setelah terbuang dari kancah perdagangan
lada dunia, lada komuditas yang sempat menaikkan derajat ekonomi petani itu
nyaris terbuang di kampung sendiri.

Beribu-ribu hektar tanaman lada ditelantarkan bahkan dibuang. Kebun dengan
tanah yang subur tak jarang tergerus oleh aktivitas tambang. Petani lada juga
tak tahan dengan godaaan perkebunan tanaman sawit yang sangat ekspansif.
Lada putih merupakan salah satu komoditas perkebunan sektor non migas yang
mempunyai prospek untuk dikembangkan sebagai penghasil devisa. Hal ini mengingat
produksi maupun volume ekspor lada putih Indonesia mempunyai peranan yang cukup besar
di pasar internasional. Volume dan nilai ekspor lada putih Indonesia berfluktuasi dan sangat
tergantung dengan kondisi perdagangan lada putih dunia . Volume dan nilai ekspor lada putih
Indonesia dalam perkembangannya sejak tahun 1969 sampai dengan tahun 1990 fluktuasinya
mengarah keadanya peningkatan, tetapi mulai tahun 1990 ada tendensi terjadi penurunan.
Pulau Bangka yang saat ini adalah Propinsi Bangka Belitung merupakan penghasil utama
lada putih Indonesia yang ditujukan untuk ekspor, yaitu sebesar 82 persen dari volume ekspor
lada putih Indonesia. Namun dalam perkembangannya akhir-akhir ini luas areal dan produksi
lada putih Bangka mengalami penurunan. Pada tahun 1990 luas areal lada putih Pulau

2


Bangka adalah 47 439 hektar dengan produksi sebanyak 29 943 ton dan pada tahun 2005 luas
areal lada putih Pulau Bangka menurun menjadi 22 299 hektar dengan produksi sebanyak 22
140 ton.
Indonesia walaupun mempunyai pangsa produksi lada putih sebesar 83.51 persen dari
total produksi lada putih dunia, tetapi kenyataannya hanya menguasai pangsa ekspor lada
putih dunia sebesar 48.15 persen. Hal ini disebabkan karena ekspor lada putih Indonesia
sebagian besar ditujukan ke Singapura yaitu sebesar 45.52 persen dari total ekspor lada putih
Indonesia dan selanjutnya oleh Singapura diekspor kembali. Disamping itu kenyataannya
Indonesia juga menghadapi fluktuasi harga walaupun pangsa produksi dan pangsa ekspornya
terbesar di dunia.
Perdagangan lada putih dunia diwarnai oleh adanya fluktuasi harga dan Indonesia,
walaupun negara produsen dan pengekspor lada putih terbesar dunia juga menghadapi
persoalan tersebut. Ekspor lada putih Indonesia di pasar internasional menghadapi pesaing
dari negara Brasilia, Malaysia dan juga Singapura. Singapura menduduki peranan penting
dalam perdagangan lada putih dunia walaupun negara Singapura bukan negara produsen lada
putih dunia. Negara pengimpor utama lada putih Indonesia adalah negara-negara Amerika
Serikat, MEE, Jepang dan Singapura. Perkembangan permintaan impor lada putih negaranegara
tersebut berfluktuasi dan tindak menunjukkan perkembangan yang berarti. Negara
Singapura mengimpor lada putih bukan untuk konsumsi, tetapi untuk diolah dan selanjutnya
diekspor kembali.
Sehubungan dengan hal ini perlu dipelajari bagaimana sebenarnya penawaran ekspor dan
permintaan impor lada putih dunia dan selanjutnya bagaimana strategi peningkatan daya saing
lada putih Indonesia di pasar internasional.
KERANGKA PEMIKIRAN TEORITIS
Daya saing lada putih Indonesia dalam penelitian ini didefenisikan sebagai kemampuan
atau kesanggupan lada putih Indonesia untuk mempertahankan perolehan laba dan pangsa
pasarnya, sehingga produsen mempunyai kemampulabaan dalam memproduksi lada putih
agar dapat mempertahankan kelanjutan usahanya.
Kekuatan daya saing lada putih Indonesia di pasar internasional ditentukan oleh kondisi
internal dan eksternal. Kondisi internal adalah kondisi yang mempengaruhi penawaran
ekspor lada putih Indonesia di pasar internasional . Kondisi internal ini erat kaitannya dengan
kondisi ekonomi yaitu kondisi efisiensi penggunaan factor-faktor produksi, efisiensi
pemasaran, mutu lada putih yang dihasilkan dan peranan pemerintah. Kondisi eksternal
3
adalah kondisi yang mempengaruhi permintaan impor lada putih Indonesia yang dalam hal ini